Maulid Sebagai Solusi Problematika Sosial
(Andriadi Kaizen. Ketua Bidang Hikmah Politik dan Kebijakan Publik DPP IMM Sulawesi Barat)
Dalam historis peradaban islam, 12 Rabiul Awal 571 Masehi dalam peristiwanya dikenang dengan kelahiran seorang Nabi akhir zaman yang bernama Muhammad SAW pasangan dari Abdullah dan Siti Aminah. Pada tahun kelahirannya yang penuh konflik dan dinamika. Pasukan gajah yang dipimpin oleh raja Abrahah menyerang dan ingin menghancurkan ka’bah hasil peninggalan dari Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai arah kiblat umat muslim di seluruh dunia. Tak heran, kelahiran Nabi Muhammad saw juga dikenal dengan tahun gajah, yaitu tahun dimana pasukan gajah membabi buta menyerbu dengan jumlah yang fantastis, dalam berbagai sumber menyebutkan sekitar 60.000 pasukan dan sekitas 10.000 pasukan gajahnya.
Misi raja Abrahah dari Yaman tersebut untuk menghancurkan ka’bah tidaklah berjalan mulus sebab dalam literatur islam menyebut bahwa Allah SWT mengutus burung Ababil yang membawa kerikil yang dipanaskan dari api neraka. Kisah tersebut pun diabadikan dalam surah Al Fil.
Kisah dramatis “Burung Ababil VS Pasukan Gajah” dalam pandangan mufassir dipandang sebagai kisah yang monumental, Ababil dianggap sebagai burung yang tidak berasal dari spesies burung lainnya, jumlahnya banyak, dan warnanya cukup beragam. Jumlah burung tersebut yang berkelompok menyerang pasukan gajah juga diabadikan dalam al Qur’an (Al Fill).
Tak hanya itu, peristiwa besar lainnya yang mengiringi kelahiran Muhammad adalah padamnya api sesembahan orang Majusi, Api tersebut menyala selama ratusan tahun tanpa pernah padam. Lalu, istana Kisra yang terkenal zalim tetiba terguncang dan merobohkan gedung mewah kerajaannya. Kemudian Kota Mekah yang awalnya tandus dan kering juga diguyur hujan lebat, tanahnya menjadi subur dan memakmurkan masyarakat kota Mekah.
Kelahiran Nabi Muhammad saw memang memberikan tanda dan peringatan buruk bagi golongan penguasa zalim bahwa telah lahir seorang Nabi yang membawa cahaya peradaban dan pembaharu zaman. Mengubah nasib dan menjadi penentang status quo yang selama ini dimapankan oleh golongan kafir Quraisy dan antek-anteknya.
Salah satu sejarah yang paling fenomenal adalah ketika paman Nabi. Abu Lahab yang mendengar kelahiran Nabi Muhammad mengekspresikan kegembiraan yang luar biasa. Kelahiran Nabi Muhammad seakan menjadi penantian panjang bagi Abu Lahab, bahkan untuk mengekspresikan kesenangan tersebut – Abu Lahab sampai rela membebaskan seorang budaknya yang bernama Tsuwaibah Al-Islamiyah sebagai ekspresi kegembiraan.
Ekspresi kegembiraan Abu Lahab pada kelahiran ponakannya itu, mendapat balasan yang luar biasa dari Allah SWT. Meskipun Abu Lahab adalah seorang laknatullah yang selalu menghalangi gerakan dakwah pembaharuan Nabi muhammad – bahkan namanya diabadikan dalam Al-Qur’an pada Surah Al Lahab yang bercerita tentang kedaannya yang celaka bersama dengan istrinya yang disembolkan sebagai pembawa kayu bakar.
Dalam kitab Bidayah wan Nihayah yang ditulis oleh ibnu Katsir bahwa salah satu sahabat Nabi yaitu Abas bin Abdul muthalib pernah bermimpi berjumpa dengan paman Nabi yaitu Abu Lahab yang sudah wafat. Dalam mimpinya tersebut, Abu Lahab digambarkan disiksa terus menerus di dalam kuburnya, namun pada hari senin, siksanya diringankan oleh Allah SWT disebabkan Abu Lahab pernah memerdekakan budak sebagai bentuk ekspresi kecintaan dan kebahagiaannya menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa peringatan kelahiran Nabi Saw, yang selama ini kita kenal dengan istilah Maulid menjadi perdebatan panjang dalam sejarah islam. Dalam pandangan Wahabi misalnya menganggap segala bentuk peringatan dan perayaan untuk mengenang kelahiran Nabi Saw hukumnya adalah Bid’ah, dan Bid’ah adalah haram. Hal ini dikarenakan Nabi Saw sendiri tidak pernah merayakan Maulid atas kelahirannya. Juga para sahabat tak pernah mencontohkan demikian. Maulid atau peringatan kelahiran Nabi saw dalam pandangan Wahabi menghukumnya sebagai amalan Bid’ah yang menjadi musuh bersama.
Lainnya halnya dengan Wahabi, ulama Ahlussunnah yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali menegaskan bahwa peringatan Maulid Nabi Saw diperbolehkan. Selain itu, dalam pandangan mazhab Syi’ah juga memperbolehkan perayaan Maulid Nabi saw sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi. Bahkan dalam sejarah islam, Maulid Nabi saw pertama kali diperkenalkan oleh mazhab syi’ah pada Abad IV Hijriah oleh Dinasti Fathimiyyun yang berkuasa di Mesir. Tak hanya itu, Dinasti ini juga membuat perayan hari lahir untuk ahlul bayt Nabi.
Lalu bagaimana dalam pandangan Muhammadiyah perihal Maulid? Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyimpulkan bahwa tidak ada dalil yang berisi perintah maupun larangan melaksanakan Maulid Nabi saw. Dalam hal ini, belum ditemukan dalil yang memerintahkan melaksanakan Maulid sementara itu juga belum pernah ditemukan dalil yang melarangnya. Olehnya itu, Muhammadiyah menegaskan bahwa hukum Maulid Nabi saw ini termasuk dalam perkara ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban sekaligus larangan untuk melaksanakannya.
Dikarenakan mayoritas umat islam di Indoensia bermazhab Ahlussunnah maka perayaan Maulid di negara kita sendiri telah berlangsung lama, beberapa sumber menyebut bahwa perayaan Maulid di Nusantara diperkenalkan oleh ulama Syi’ah lalu diteruskan dan dipraktikkan oleh ulama Ahlussunnah. Beberapa daerah di Nusantara punya keunikan masing-masing dalam perayaan Maulid tersebut.
Di Yogyakarta misalnya, peringatan Maulid dilaksanakan dengan prosesi arak-arakan membawa makanan dan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung yang disebut Grebeg Maulud. Di Aceh, tradisi Maulid dilakukan dengan memasak kuah Beulangong di Meunasah dan masjid, warga akan memasak daging sapi atau kerbau dalam kuali besar secara tradisional dan akan dibagikan kepada banyak orang.
Lain halnya pada suku Mandar di Provinsi Sulawesi Barat, perayaan Maulid digelar dengan tradisi Shayyang Pattu’du, yaitu pertunjukan kuda menari bagi masyarakat yang telah menamatkan khatam Al-Qur’an lalu diarak keliling kampung sebagai simbol penghormatan dan penghargaan bagi para Khatam Al-Qur’an. Selain itu ada juga tradisi berebut telur, yaitu sebuah tradisi doa bersama dan pembacaan barzanji yang dilantunkan dengan nada dan irama yang menceritakan tentang puji-pujian dan riwayat perjalanan Nabi saw dalam bahasa arab atau daerah.
Peringatan Maulid di Nusantara telah menjadi tradisi yang turun temurun terkhusus di tanah Mandar, sulawesi Barat. Rerata peringatan Maulid pada suku Mandar diperingati dengan pembagian telur dan pembacaan barzanji. Tapi, sepertinya ada yang hilang dari perayaan tersebut. Maulid seakan hanya dianggap sebagai tradisi turun temurun tetapi mulai kehilangan nilai substantifnya.
Tradisi Maulid kita tidak benar-benar membangkitkan kecintaan kita kepada Nabi saw – sebab dalam pagelarannya, tradisi Maulid lebih difokuskan pada doa bersama yang terkesan ritual, pembacaan barzanji dengan irama dalam bahasa arab yang tidak dipahami oleh masyarakat. Pertunjukan karakter umat islam yang rakus juga ditunjukkan pada kegiatan perebutan telur. Dalam berbagai kasus banyak makanan, telur, pisang, sokko (sejenis beras ketan hitam atau putih) dan sebagainya justru terinjak oleh kaki sendiri dan terbuang sia-sia disebabkan oleh kebiasaan berebut makanan yang membabi buta.
Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Nabi untuk menghargai makanan, menjauhi sifat mubazzir, berbagi dan tidak rakus pada materi – saat itu juga Maulid disepakati sebagai ajang mencontoh dan meneladani sifat Nabi.Kegiatan Maulid Nabi seharusnya bisa kita jadikan sebagai salah satu solusi untuk lebih mencintai tidak hanya kelahiran Nabi saja tetapi juga mencintai segala perjuangan, gerakan, jihad, perkataan dan perbuatan Nabi. Pengajian untuk menceritakan kembali kisah dan perjuangan Nabi lebih
penting dibandingkan jika harus berebut makanan yang bisa berujung pada perselisihan dan buang- buang makanan (Mubazzir). Saatnya tradisi Maulid kita perlu lebih menekankan lagi pada pentingnya upaya membangun kesatuan umat dan bangsa dalam bentuk masyarakat yang multikulturalisme. Maulid perlu dilaksanakan dengan kesadaran profetis juga akan meningkatkan kualitas keimana umat islam.
Kita tidak lagi berdebat pada persoalan halal atau haramnya Maulid, tetapi apakah Maulid kita memang punya spirit sesuai sejarah Maulid itu lahir? Andaikan kita semua bisa seperti Abu Lahab dalam mencintai kelahiran Nabi saw dengan melakukan transformasi sosial seperti membebaskan budak maka sungguh esensi dan eksistensi Maulid memang menjadi sebuah kegiatan ibadah sosial yang solutif.
Atau mampukah kita menyekolahkan anak putus sekolah yang miskin sebagai bentuk kecintaan kita pada kelahiran Nabi? Atau memberi makan fakir miskin, atau merawat anak yang terkena stunting sebagai bentuk kecintaan kita kepada Nabi? Abu Lahab mendapat karunia dari Allah tidak hanya pada perasaan senang akan kelahiran Nabi, tetapi hal itu juga diekspresikan dalam ibadah sosial yaitu membebaskan budak yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kelahiran Nabi.
Tradisi Maulid yang dibawah pada transformasi sosial seperti meneladani Nabi dari segi perjuangan, perkataan dan ajarannya akan lebih berdampak besar pada perkembangan umat dan bangsa kita yang terus dilanda masalah klasik yang tak berkesudahan. Memberi makan fakir miskin, menyekolahkan anak putus sekolah, merawat anak stunting, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga dan melindungi alam, berkata baik, membela masyarakat kecil, mengasihani anak yatim juga adalah bisa sebagai bentuk kecintaan kita pada kelahiran Nabi saw.
Dengan begini, masalah klasik di Sulawesi Barat terkhusus Kabupaten Mamuju dapat kita tuntaskan secara perlahan dengan Maulid . Apakah Maulid bisa menjawab problematika kedaerahan kita yang sudah berlangsung lama? Yah, tentu saja bisa, asal kita mampu memaknai Maulid seperti Abu Lahab, yaitu memaknai Maulid dengan nilai dan moral yang diajarkan oleh Nabi saw.
Contoh diatas tentu akan lebih disukai Allah swt dan Nabinya dari pada hanya sekadar simbolitas cinta dalam bentuk berebut makanan atau telur, upacara ritual, menunjukkan sikap rakus dan mubazzir tanpa diselingi dengan penanaman nilai profetik agar terus mencontoh perilaku sosial dan spiritual Nabi saw dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu A’la.