Parpol Nol Pendidikan Politik Jelang Pemilu, Data KTP Incaran Timses dan Caleg

Oleh : Muh. Fajar Harun
Politisi makin bodoh dan gagal paham esensi perjuangan partai politik, terutama di daerah-daerah. Sudah miskin gagasan, miskin narasi, modal kapital belaka itupun mungkin sebagian modalnya adalah uang negara hasil rampoknya,.
Kini hari H pesta demokrasi, kurang lebih mines 2 bulan lagi, meskinya gagasan pembangunan dan ide-ide pembangunan kesejahteraan Rakyat yang tersebar di spanduk-spanduk, dan beranda media sosial. Bukan sekedar konten-konten tak berfaedah yang di pertontonkan kepada konstituen/masyarakat.
Terutama sebagai calon legislator, harusnya mereka adalah orang mampu bertengkar secara gagasan dan pemikiran, bukan malah legislator yang hanya mampu mengkalkulasi untung-rugi, kalkulasi kepentingan dal lain-lain.
Penulis maklum dan paham, bahwa seorang politisi-petarung, meskilah punya kalkulasi matang, insting politik yang tepat, dalam merebut kemenangan, pada hari H pemilihan. Namun bukan berarti sampai disitu saja, karna ada agenda perjuangan yang menjadi nafas politik-juangnya.
Seperti kasus maraknya timses dan atau caleg yang door to door, bukan malah keliling lakukan sosialisasi dan pendidikan politik, melainkan sosialisasi menajanjikan “Money Politik”, dengan syarat melampirkan KTP-el, hingga ter ekstrim, melampirkan foto masyarakat memegang KTP dan kartu nama si caleg, sebagai syarat untuk jual beli suara pada detik-detik pemilihan berlangsung.
Rasanya miris, dan memprihatinkan rasanya, sebagai pegiat demokrasi Sul-Bar, rasanya bikin sesak dada. Jiwa nasionalisme di dada seakan ingin memberontak.
24 Caleg DPD RI, 71 Caleg DPR-RI dapil Sulawesi Barat, dan 500 Caleg (DCT) DPRD Provinsi Sulawesi Barat, dan 425 Caleg DPRD Kabupaten Polewali Mandar, 276 Caleg DPRD Kabupaten Majene, 346 Caleg DPRD Kabupaten Mamuju, 327 Caleg Kabupaten Mamasa, 235 Caleg DPRD Kabupaten Mamuju Tengah, dan 271 Caleg Kabupaten Pasangkayu.
Sepanjang beberapa bulan terakhir, penulis mengamati, bahwa diantara caleg-caleg tersebut, penulis membagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu ;
Pertama, Klasifikasi caleg yang berlatar belakang incumbent, atau sanak family dan atau satu gerbong politik dengan kualisi penguasa, serta mereka punya modal kapital yang cukup. Mereka ini ciri-cirinya, spanduk dan atau alat peraga kampanye nya lebih besar, dan sebagian besar mereka cenderung menggunakan instansi pemerintahan, sebagai infrastruktur pemenangannya, ada juga dari kalangan pengusaha, yang menginterfensi karyawannya untuk mencari konstituen berbasis KTP.
Kedua, klasifikasi caleg yang gagal paham, fungsi DPD, DPR DPRD Provinsi maupun kabupaten, cirinya si caleg berkampanye dengan cara -cara seolah si caleg punya fungsi kebijakan Eksekutif seperti Presiden, Gubernur dan Bupati/Wali Kota, dengan cara menebar visi-misi, padahal sesungguhnya yang terutama kali perlu dipahaminya adalah ideologi dan agenda perjuangan partai politik.
Ketiga, klasifikasi caleg yang memang mengerti agenda perjuangan, juga punya ikatan ideologi dengan ideologi partainya, karna memang sejak dibangku universitas, mereka sudah di didik dengan agenda perjuangan dan cita-cita perjuangan kemerdekaan negara-bangsa, yang sedang ingin di tuju, namun mereka yg ada diklasifikasi ini, terbagi lagi menjadi dua lagi yaitu. pertama, yang ditopang moralitas (tidak menghalalkan segala cara), dan yang kedua, golongan orang yang menghalalkan segala cara, dan cenderung sama saja modelnya dengan klasifikasi pertama diatas.
Sayapun sebagai bagian dari yang berkomunikasi dengan beberapa politisi (timses maupun calegnya), beberapa diantaranya memang bikin dada sesak, karna apa yang dibicarakan selama ini tentang cita-cita bernegara-bangsa, nampaknya omong kosong belaka. Ada pula yang membicarakan politik sebagai agenda perjuangan suci dengan landasan agama/spritual, tapi juga mempraktikkan strategi kotor.
Saat menulis tulisan ini, rasanya Pemilu 2024 ini, tak akan bisa dijadikan sebagai momentum gerak maju negara bangsa, baik nasional maupun lokal Sul-Bar. Rasanya penulis pesimis, tak berbeda jauh dengan pilpresnya.
Yahh setidaknya kita bisa mengambil bagian dalam agenda besar 5 tahunan ini, minimal kita bukan orang yang terlibat dalam jual beli suara (dengan istilah apapun, uang transpor atau kos politik dan lain-lain), poinnya adalah kita bukan memilih karna ada keuntungan materi, tetapi memilih karna track record si calon dalam agenda sosial politik.